- BENDI
Bendi setelah Dipatenkan sebagai Kendaraan Wisata
Tetap Tersingkir, Kusir jadi Tukang Ojek
Seiring berkembangnya zaman dan kian canggihnya teknologi, ternyata tanpa bisa dipungkiri telah menjadi gaya hidup bagi masyarakat. Fasilitas maupun prasarana tradisional mulai ditinggalkan karena dianggap tak sesuai lagi dengan kebutuhan. Bendi menerima nasib yang sama. Meski telah dianggap sebagai kendaraan wisata tapi warga tetap enggan menaikinya. Babendi tak lagi ka Sungai Tanang. Miris nasibnya.
Demikian halnya prasarana transportasi, turut mengalami perkembangan sesuai dengan tuntutan. Semua kendaraan kini mengandalkan tenaga mesin, kecuali di daerah-daerah pelosok, daerah terisolir yang memang belum ditunjang prasarana jalan memadai, pedati dan kuda beban memang masih menjadi alat transportasi alternatif.
Sehingga prasarana tradisional yang sesungguhnya memiliki unsur budaya kian tersingkir. Seperti diantaranya bendi yang dahulu menjadi kendaraan favorit di Solok ikut kalah bersaing.
Setiap tahun armada bendi terus mengalami penyusutan. Pangkalan bendi kian sepi. Banyak kusir yang beralih profesi menjadi tukang ojek atau profesi lainnya yang lebih menjanjikan.
Tak heran, di sejumlah ruas jalan antar kelurahan di pusat Solok kini bendi jarang terlihat, kecuali di saat hari pasar (Selasa dan Jumat). Selain Bukittinggi, dahulunya di era tahun 1990-an Solok bagi orang luar juga menjadi lebih spesifik karena didentik dengan bendi. Turis tak jarang berkunjung ke Solok hanya untuk mencoba naik bendi di samping menikmati keindahan alam Pulau Belibis, Ampang Kualo. Berbeda dengan sekarang, bendi tak begitu bergairah.
Menyikapi persoalan ini, sebelumnya Pemko Solok telah mencoba melahirkan terobosan terbaru. Bendi dipatenkan menjadi angkutan budaya dan wisata. Di setiap pasca menyambut HUT Solok, bendi digunakan sebagai kendaraan hias untuk berkeliling kota, Kepala Daerah, Wakil Rakyat, Pejabat Teras, Duta wisata (Uda-Uni) naik di atasnya. Wajah-wajah sumringah menyapa warga kota dan siapa saja yang berkerumunan dipinggir jalan. Namun setelah itu kenyataan kembali seperti semula, bendi tak lagi menarik perhatian.
Bendi tetap dianggap sarana transportasi biasa. Mangkal mengisi penumpang di Pasar Raya. Selanjutnya melaju ke berbagai jalur lintas sesuai trayek. Konsep menjadikan bendi sebagai kendaraan budaya dan wisata seakan tak jelas. Apalagi Solok sesungguhnya bukanlah daerah wisata sebagaimana daerah lain yang memiliki obyek menarik.
Jas, 40, kusir bendi di pangkalan Berok Pasar Raya Solok, mengaku pesimis sarana transportasi tradisional tersebut akan bisa bertahan lama di Solok. “Bendi kian kalah saing oleh alat transportasi canggih,” katanya sambil melengos. Mungkin ingin melengahkan fakta yang terpampang di hadapannya.
Terlebih lagi ojek dan betor kian menjamur hampir di setiap sudut kota. Masyarakat lebih dominan memilih ojek dan betor karena sarana ini dianggap lebih praktis dan cepat. Masyarakat tidak terlalu tertarik dengan bendi meski disebut-sebut kendaraan wisata dan budaya.
Sepanjang tahun 2010-2011, lanjut Jas, hampir dua puluh armada bendi menyusut. Ke depannya dikhawatirkan aka terus berkurang. Bendi saat ini tak ubahnya seperti kendaraan biasa. Dituntut mampu berkompetisi dengan kendaraan bermesin. Sementara implementasi sebagai kendaraan wisata dilalukan saja tanpa pengawalan Pemko
Tidak ada komentar:
Posting Komentar