LINK TEMAN

Jumat, 02 Desember 2011

Pertunjukan tradisional Cina

 BARANGSAI

Latar Belakang
Keberagaman bukanlah hal yang aneh lagi bagi masyarakat Indonesia. Sekurang-kurangnya terdapat 300 suku bangsa (Geertz dalam Sanjatmiko, 1999; Suryadinata, 1999) yang mendiami seluruh wilayah nusantara. Dari sejumlah golongan etnis (suku bangsa) tersebut secara umum bangsa Indonesia terbagi dalam dua golongan besar yakni golongan etnis pribumi seperti etnis Jawa, Sunda, Batak, Minang dan golongan etnis pendatang seperti etnis India, Arab, Eropa (yang diwakili Portugis dan Belanda) serta etnis Cina. Di bidang agama, setidaknya ada lima agama yang resmi diakui oleh pemerintah yaitu Islam, Kristen Protestan, Katolik, Budha dan Hindu serta satu aliran kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa (Suryadinata, 1999; Sanjatmiko, 1999).
Kesemuanya itulah yang membentuk satu masyarakat yang masuk dalam wadah negara Republik Indonesia. Untuk menjaga kondisi aman dan tentram dalam kemajemukan bangsa Indonesia diperlukan bentuk hubungan antarkelompok yang harmonis. Adanya toleransi antargolongan etnis dan antarumat beragama merupakan satu bentuk keharmonisan yang perlu dipertahankan.
Pemerintah Orba yang lahir pascaperistiwa Gerakan 30 September 1965 memutuskan bahwa hanya ada satu cara untuk menyelesaikan masalah Cina yakni melalui proses asimilasi (Lan dalam Wibowo, 1999). Solusi ini juga dijadikan sebagai solusi nasional sebagaimana tercermin pada berbagai peraturan yang dikeluarkan oleh pemerintah Orba berkenaan dengan masyarakat etnis Cina. Semua dilakukan agar masyarakat etnis Cina dapat terasimilasi dengan baik dan prasangka buruk terhadapnya berkurang. Beberapa peraturan itu adalah keputusan Presidium Kabinet No. 127/U/Kep/1966 mengenai pergantian nama sehingga mulai saat itu masyarakat etnis Cina harus memakai nama khas Indonesia bukan nama khas Cina. Instruksi Presiden No. 14/1967 yang mengatur agama, kepercayaan dan adat-istiadat keturunan Cina akibatnya setiap warga etnis Cina harus masuk dalam agama-agama yang resmi diakui oleh pemerintah dan pagelaran seni seperti tari Barongsai dilarang dipertontonkan di depan khalayak umum (dicabut oleh pemerintah berdasarkan Keppres No. 6/2000). Peraturan lainnya seperti keputusan Presiden No. 240/1967 mengenai kebijakan pokok yang menyangkut Warga Negara Indonesia (WNI) keturunan asing, serta Instruksi Presidium Kabinet No. 37/U/IN/1967 tentang kebijakan pokok penyelesaian masalah Cina (Lan dalam Wibowo, 1999; Warta Kota, 20 Januari 2000; Kompas, 5 Februari 2000) turut memperkuat kebijakan asimilasi tadi. Hasil nyata dari beberapa peraturan tadi adalah berkurangnya tampilan budaya Cina dalam kehidupan sehari-hari.
Berdasarkan latar belakang keadaan seperti ini, muncullah beberapa penelitian yang berusaha mengungkap persoalan-persoalan di balik masalah antaretnis tersebut. Setidaknya terdapat tujuh penelitian psikologi yang menyentuh masalah hubungan antaretnis ini. Tema-tema penelitian yang telah diangkat antara lain: persepsi antaretnis di Indonesia (Warnaen, 1978), jarak sosial (Waluyo, 1989), penerimaan golongan Cina beragama Islam/Non-Islam (Mauludi, 1989), sistem kepercayaan-ketidakpercayaan (Simbolon, 1989), nasionalisme golongan etnis Cina (Rimadewi, 1989), persepsi terhadap siswa golongan etnis Cina (Tjun, 1990), persepsi tentang diskriminasi (Arief, 1997).
Dari sekian penelitian yang pernah dilakukan tersebut, belum ada yang mengungkap secara eksplisit bagaimana sebenarnya sikap masyarakat pribumi terhadap masyarakat golongan etnis Cina pada umumnya. Sikap itu sendiri dapat didefinisikan sebagai evaluasi menyeluruh seseorang tentang suatu kelompok sosial dalam dimensi yang global seperti positif-negatif, baik-buruk, disukai-tidak disukai dan sebagainya (Esses, Zanna, Haddock; 1993). Dengan mengetahui sikap masyarakat golongan pribumi terhadap masyarakat golongan etnis Cina, kita dapat mengetahui sejauh mana golongan etnis Cina dinilai positif atau negatif, baik atau buruk, disukai atau tidak disukai oleh golongan pribumi. Berangkat dari hal tersebut, kita dapat melihat apakah sikap masyarakat terhadap masyarakat golongan etnis Cina cukup berperan dalam kesenjangan hubungan antara kedua golongan etnis tersebut.
Kelompok etnis merupakan kelompok yang mempunyai karakteristik-karakteristik tertentu seperti agama, ras, wilayah dan budaya dan tradisi tersendiri. Aspek-aspek yang terkait dengan kelompok etnis adalah aspek fisik, aspek psikologis dan aspek sosial budaya. Menurutnya aspek fisik adalah mengenai rasa penerimaan diri atas atribusi fisik pada etnis atau ras seperti warna kulit, jenis rambut, dan bentuk fisiologis lainnya. Pada aspek psikologis hal ini menunjukkan rasa kepedulian pada komitmen pada kelompok etnis atau ras, termasuk rasa bangga pada keanggotaan dan tanggung jawab pada kelompoknya. Dan yang terakhir, aspek sosial budaya merupakan perwujudan tingkah laku individu terhadap masalah sosial budaya dan isu-isu kemasyarakatan.
Profil Kelompok Barangsai dan Liong “Tri Pusaka”
Kelompok barongsai dan liong berdiri sejak tanggal 25 Juni 1998. kelompok ini Asal mula berdirinya kelompok tersebut adalah dari Wu Shu yang berkembang menjadi olah raga seni dan budaya yaitu barongsai dan liong (naga). Wu Shu merupakan seni olahraga dari Negara Cina, Tiongkok yang lebih mengedepakkan seni bela diri. Wu Shu berkembang ke arah barongsai dan liong. Selama Kelompok ini masih di Wu Shu, Bpk. Heru Subianto memiliki keinginan, dorongan untuk mengembangkan kea rah barongsai dan liong. Berdirinya kelompok ini di dukung oleh Bapak Budi Darmawan dan Bapak Widarto sebagai ketua “MAKIN” yang mengkoordinasi sehingga terbentu kelompok ini.
Whu Shu dan Barongsai maupun liong memiliki hubungan erat dengan seni olahraga dan seni yang di padukan menjadi sesuatu yang menarik dan indah baik seni geraknya, musik dan keterpaduan gerakan dengan musik. Barongsai dan liong pada zaman orde baru kurang berkembang karena pemerintah melarang dan orang takut memainkan barongsai atau liong bias dibelokkan ke arah politik olehmasyarakat pribumi.
Barongsai memiliki makna penting di dalam budaya atau keyakinan orang-orang Cina baik yang tingal di Indonesia maupun di luar negeri.. Kepercayaan orang Cina sejak zaman dulu hingga sekarang adalah dengan melakukkan dan menyelunggarakan atraksi barongsai atau liong di percaya dap pengusiran roh jahat atau aura jahat di suatu tempat tertentu. Selain itu, pada zaman dahulu teradapat anggapan bahwa barongsai menunjukkan kegagahan. Dalam memainkan barongsai dan liong, pemain harus memiliki jiwa seni tinggi dalam mengolah gerak dengan musik menjadi keterpaduan yang baik.
Kelompok barongsai dan liong Tri Pusaka berpusat di SMP Tri Pusaka. Tidak lepas dari nama kelompok tersebur latihan anggota-anggotanya adalah di SMP dan SMA TRI PUSAKA SURAKARTA. Visi dari kelompok barongsai dan liong ”Tri Pusaka” adalah menjadi suatu hiburan yang positif dan dapat diterima masyarakat sebagai suatu budaya tanpa ada unsur politis.. Sedangkan misi dari kelompok tersebut antara lain menjadi suatu kelompok yang berkembang serta mengharumkan nama baik perkumpulan maju tidak hanya meraih juara ditingkat daerah melainkan di tingkat Internasional.Tujuan dari organisasi ini tidak jauh dari visi dan misi mereka.
Tujuan dari kelompok barongsai dan liong “Tri Pusaka” adalah:
  • Memupuk jiwa persatuan dan solidaritas antar anggota.
  • Memupuk rasa persaudaraan sesama anggota, juga dengan anggota kelompok lain serta masyarakat.
  • Dapat ikut dan menjadi juara baik di tingkat daerah hingga ASEAN.
  • Turut berusaha melestarikan budaya dan seni.
  • Membentuk jasmaniah yang kuat.
  • Menyalurkan bakat anggotanya secara wajar.
Peraturan-peraturan kelompok barongsai dan liong “Tri Pusaka” adalah
  • Tidak boleh bergabung dengan kelompok lain yang sejenis.
Hal itu di karenakan ada kemungkinanan kelompok lain yang sejenis memsasukkan anggota tersebut untuk ikut suatu perlombaan di sisi lain anggota tersebaut memperjuanggkan kelompok ini untuk meraih juara. Apabila anggota kelompok ini masuk ke kolompok lain tetapi tidak sejenis, di perbolehkan asalkan tidak meganggu latihan.